Jumat, 20 Maret 2009

Minggu, 15 Maret 2009

Dobrak Birokrasi

"Penyakit bangsa kita yang paling parah adalah mentalitas kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah." - Presiden SBY
Dari sekian banyak anekdot mengenai birokrasi, satu yang paling membuat geram Presiden SBY adalah kasus kompor gas Electrolux—apa yang kemudian sering saya sebut sebagai 'sindrom Electrolux.'
Suatu hari di tahun 2005, saya tidak ingat tanggalnya, Presiden SBY menerima Dr. Kuntoro Mangkusubroto di kediaman beliau di Cikeas. Kuntoro, seorang ahli manajemen yang terkenal serba bisa dan berintegritas tinggi, dipanggil SBY dalam kapasitas sebagai Ketua BRR untuk memberikan paparan mengenai perkembangan rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh.
Diskusi berjalan lancar, sampai suatu ketika Presiden SBY menanyakan mengenai nasib pengungsi. Presiden menaruh perhatian khusus pada pengungsi karena beliau pernah melihat sendiri kondisi hidup mereka di tenda-tenda darurat. Ada sekitar 500.000 pengungsi Aceh yang hidup dalam kondisi memilukan: satu tenda bisa 5 keluarga, banyak yang tidur di atas tikar yang dibentang di tanah, sama sekali tidak ada keleluasaan pribadi, kalau satu sakit seluruh penghuni tenda bisa sakit dan tidak ada jaminan masa depan. Setelah ribuan jenazah tsunami terkubur, nasib pengungsi menjadi masalah paling utama, yakni bagaimana membangun rumah baru bagi mereka dan bagaimana memberi mereka makan, air bersih, sanitasi, pengobatan, termasuk sekolah bagi anak-anak mereka.
Kuntoro menjawab bahwa pembangunan rumah terus dipacu, namun ia mengeluh mengenai masalah 'Electrolux.'
SBY: "Masalah apa?"
Kuntoro: "Ada donor yang ingin membantu korban tsunami dengan menyumbang kompor gas Electrolux. Jumlahnya seribu lebih. Kalau dihitung 1 kompor gas bisa dipakai untuk puluhan keluarga, ini bisa membantu puluhan ribu orang, sebagian besar dari seluruh pengungsi."
SBY: "Bagus dong. Gratis?"
Kuntoro: "Gratis, Bapak Presiden. Ini hibah karena mereka kasihan dengan korban dan ingin membantu."
SBY: "Masalahnya?"
Kuntoro: "Masalahnya kompor itu sudah 9 bulan mandeg di Tanjung Priok."
SBY (dengan suara meninggi): "Kenapa?"
Kuntoro: "Iya, birokrasi Pak. Barang-barang itu akhirnya ditahan di pelabuhan, sampai sekarang, sementara petugas imigrasi dan bea cukai lempar-lemparan, sehingga akhirnya semua orang jadi kebingungan, termasuk Departemen Sosial. Sudah 9 bulan bantuan itu mandeg."
Saya tidak pernah melihat SBY segeram itu. Segera Presiden meminta disambungkan ajudan dengan beberapa Menteri, yang dihadiahi dampratan keras.
SBY: "Bagaimana ini terjadi? 9 bulan! Apa saudara tahu ini? Ini kan situasi luar biasa. Rakyat kita sedang menderita, hidup tidak jelas di tenda-tenda, kok petugas kita bersikap 'business as usual.' Seribu lebih kompor gas ditahan dan tidak ada yang mencoba memperlancar. Saya tidak bisa terima birokrasi yang tidak bisa membaca situasi darurat, yang tidak peka pada penderitaan rakyat. Segera tangani dan perbaiki! Lapor ke saya kalau sudah terlaksana."
Tidak lama kemudian Presiden mendapat laporan bahwa barang-barang kompor tersebut sudah tiba di tempat tujuan di kamp pengungsi.
Saya adalah seorang birokrat, tapi saya adalah orang pertama yang mengakui bahwa masalah utama dalam melakukan perubahan adalah birokrasi.
Hal ini sebenarnya berlaku di mana-mana, baik di negara maju maupun negara berkembang. Akan selalu ada kesenjangan antara pemimpin politik yang baru terpilih dengan mesin birokrasi yang dipimpinnya. Di Amerika Serikat, begitu Presiden baru masuk Gedung Putih, sekitar 50.000 jabatan Federal di berbagai Departemen akan diganti oleh pejabat non-karir (political appointees) dari penguasa yang baru dan proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan, sehingga menimbulkan kemacetan dalam proses pembuatan keputusan. Di Korea Selatan, Presiden baru tidak perlu melakukan perombakan besar-besaran karena birokrasinya sudah profesional dan siap pakai dan sudah terbiasa dengan pergantian Pemerintah. Di Indonesia, birokrasi bisa menjadi masalah karena berbagai hal:
• kecenderungan untuk memelihara masalah, ketimbang menyelesaikannya;
• lebatnya kepentingan pribadi dalam sistem birokrasi, yang praktis memenjarakan masalah dari solusi;
• kecenderungan birokrat untuk cari selamat (safety player) sehingga mereka cenderung lari, menguburkan kepala atau mengacuhkan masalah;
• lemahnya inovasi. Banyak birokrat yang tenggelam dalam rutinitas yang menjemukan, yang menjadikan birokrat seperti robot;
• lemahnya sistem rekruitmen dan promosi. Karena faktor gaji, pencari kerja baru lebih terdorong masuk swasta. Sementara itu, tidak jarang birokrat idealis dan unggul yang terlantar karena sistem promosi tidak terlalu dikaitkan dengan prestasi;
• masih maraknya tipe aparat yang ingin dilayani ketimbang melayani masyarakat, sehingga dalam setiap situasi ia selalu memperhitungkan: "saya dapat apa?"
SBY sangat memahami bahwa perubahan besar tidak mungkin bergulir tanpa dukungan birokrasi. Dari awal, saya melihat bahwa tantangan utama SBY adalah bagaimana visi, misi, target dan program Presiden dapat segera diinternalisasikan, diolah dan dijalankan oleh birokrasi di berbagai sektor dan berbagai tingkat.
SBY pernah mengatakan dalam diskusi dengan staf khusus: "Tantangan kita adalah mata rantai keputusan di zaman sekarang tidak sama dengan mata rantai di beberapa puluh tahun lalu. Di masa Pak Harto dulu, suatu keputusan yang diambil di puncak akan dengan mudah dieksekusi dan menjalar turun sampai ke tingkat paling bawah di desa-desa. Sistemnya sangat tersentralisasi dan kekuasaan Presiden begitu besar, sementara DPR belum sekuat sekarang. Sekarang realitasnya sudah berubah. Gubernur, Bupati dan Walikota punya mandat politik sendiri. DPR, DPD dan DPRD sangat aktif. Banyak keputusan yang harus diperjuangkan agar dapat bersama-sama dilaksanakan secara horizontal maupun vertikal, dari atas sampai bawah. Ini memerlukan seni tersendiri." Dan ini adalah seni yang harus dipelajari dan dikuasai oleh semua Presiden Indonesia semenjak sekarang.
Untuk diketahui, birokrasi tidak otomatis akan memahami misi Presiden terpilih: pertama, karena birokrasi berada di luar proses pemilu dan kedua, pasti akan ada program Presiden yang bertabrakan dengan kepentingan dalam tubuh birokrasi itu sendiri.
Dan SBY benar: dalam kenyataannya, saya sudah berkali-kali melihat keputusan dari tingkat tertinggi dicoba dijegal pada tingkat eselon 1 atau eselon 2 ke bawah, terutama sekali apabila menyangkut sektor-sektor yang 'basah'. Sahabat saya, Adam Schwarz, penulis buku klasik 'Indonesia: A Nation in Waiting,' menamakannya sindrom 'pasif agresif,' dimana birokrasi menjadi sangat kreatif, sangat agresif dan sangat ngoyo untuk menjaga status quo dan mencegah perubahan yang mengancam kepentingannya.
SBY tahu sekali bahwa birokrasi tidak akan mengubah dirinya sendiri kecuali mulai diubah oleh pimpinan politik. Di sini, faktor kepemimpinan menjadi penting. Kepemimpinan Presiden ditunjukkan dengan menentukan arah dan strategi, merumuskan program, menetapkan target, memelihara kekompakkan Kabinet, menjaga standar integritas dan memacu kinerja. Namun semua ini hanya akan berhasil apabila Menteri juga menunjukkan kepemimpinannya. Menteri harus juga bisa membawa angin segar perubahan dalam departemennya, melakukan dobrakan dan menjaga momentum itu. Yang paling parah adalah apabila seorang Menteri, karena kurang pengalaman berorganisasi atau karena lemah kepemimpinannya, tersedot dalam politik kepentingan internal departemen dan menjadi bagian dari masalah. Menteri harus selalu menjadi agen dari Presiden dan menggunakan mandat dari Presiden sebagai senjata untuk membenahi kepentingan-kepentingan pribadi di departemen.
Dalam tubuh pemerintah, ada ratusan Dirjen dan SBY tidak bisa, serta tidak perlu, memilih semuanya. Namun, menurut Sri Mulyani, ada proses pemilihan dua Dirjen yang mendapat perhatian sangat khusus dari Presiden: Dirjen Pajak dan Dirjen Bea dan Cukai. Kedua Direktorat Jenderal ini memang sangat strategis, karena langsung bersentuhan dengan kesejahteraan masyarakat, berkaitan dengan daya saing dan sangat besar sumbangannya bagi anggaran pembangunan negara. Semua orang tahu bahwa kedua sektor inilah yang benar-benar paling perlu diperbaiki, apalagi karena sudah lama dililit kepentingan-kepentingan pribadi yang begitu besar dan kalau dua sektor ini beres dapat dijadikan acuan bagi sektor-sektor yang lain. Sri Mulyani menyatakan pada saya: "Presiden SBY mau orang yang terbaik, paling bersih dan kompeten untuk dua jabatan ini. Begitu besar perhatian SBY sampai beliau ikut terjun dalam proses pemilihan mereka. SBY dengan teliti dan hati-hati menyaring para calon dan bahkan beliau sendiri yang melakukan penilaian akhir terhadap mereka."
Akhirnya, setelah proses seleksi yang sangat ketat, terpilihlah Darmin Nasution sebagai Dirjen Pajak dan Anwar Supriadi sebagai Dirjen Bea dan Cukai. Dan pilihan ini tidak meleset: mereka melakukan pembenahan serius dan akibatnya, penerimaan pajak non-migas tahun 2007 sekitar Rp 400 triliun, hampir dua kali lipat dari tahun 2004; penerimaan negara dari bea dan cukai Rp 44,7 triliun, sekitar Rp 15 triliun lebih besar dari tahun 2004.
SBY selalu menekankan perubahan tidak akan tercapai apabila pejabat bertindak 'business as usual.' Di sini, satu mentalitas yang paling dibenci SBY adalah pola pikir 'kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah,' yang sebenarnya merupakan fenomena peninggalan KKN masa lampau dimana seorang pejabat hanya akan bergerak dan mempercepat tugas pelayanan masyarakat kalau dirinya mendapat keuntungan pribadi.
Satu hari, SBY membaca laporan Bank Dunia dan International Finance Corporation (IFC) berjudul 'Doing Business 2005,' dimana disebutkan untuk memulai usaha di Indonesia dibutuhkan waktu 151 hari dan Indonesia ditempatkan dalam ranking 115 dari 155 negara yang disurvei.
Presiden kemudian memanggil Kepala BKPM Muhammad Luthfi. "Bagaimana ini?" SBY bertanya.
Luthfi: "Sistem birokrasi kita memang berbelit-belit, Pak. Orang mau tanam modal, mau buka usaha, harus melalui banyak meja, berbagai jendela, macam-macam formulir. Pokoknya, prosedur yang berbelit-belit."
SBY: "Ini tidak bisa. Kok orang mau baik-baik tanam modal
Di kita susah sekali? Benahi segera. Di akhir masa jabatan saya, saya mau turun jauh menjadi 30 hari. Bisa?"
Luthfi terdiam sejenak, mungkin menghitung-hitung di kepalanya dan kemudian menyatakan: "Siap, saya akan usahakan, Pak."
Di awal tahun 2007, Luthfi kembali melapor ke Presiden, kali ini membawa kabar baik. Waktu untuk memulai usaha sudah turun cepat dari 155 hari menjadi 97 hari, sementara izin konstruksi dipangkas dari 49 hari menjadi 21 hari.
Pada waktu itu, Bank Dunia dan IFC mengeluarkan laporan baru yang menyatakan Indonesia sebagai reformer tercepat ke dua di Asia setelah Cina: "Indonesia has implemented a number of significant reforms-second only to China—in 2007." IFC Country Manager for Indonesia Adam Sack menambahkan: "Indonesia is being recognized as one of the fastest reformers in emerging markets along with China, Egypt, India, Turkey and Vietnam." Namun ia mengingatkan: "However, the problem is many competitor countries are making progress as well, which raises the bar for everyone."
Apa yang disampaikan Muhammad Luthfi memang mencerminkan momentum pendobrakan birokrasi secara nasional yang semakin hari semakin kuat. Di Polri, rakyat kini bisa mengurus SIM dengan cepat, tertib dan tanpa pungli.
Di Dephan, sejak 2005, terjadi efisiensi dan rasionalisasi anggaran secara drastis karena pembelian senjata—seperti dengan Perancis untuk misi UNI FIL di Libanon—kini dilakukan secara Government to Government tanpa melalui perantara, atau langsung dengan produsen senjata, tanpa melalui agen.
Di bidang pertanahan, sebagian besar pelayanan pertanahan sudah on-line, sehingga BPN yang tadinya hanya bisa mengurus 970.000 bidang tanah per tahun, kini bisa melayani 3,2 juta bidang tanah. Di Departemen Keuangan, penyelesaian NPWP susut dari dari 3 hari jadi 1 hari kerja.
Di Special Economic Zone di Batam-Bintan-Karimun, sekarang sudah ada pelayanan satu pintu untuk pendaftaran dan perizinan investor.
Di Kepabeanan, proses di jalur merah turun dari 48 jam jadi 12 jam dan di jalur hijau juga jatuh dari 4 jam ke 30 menit. Permohonan penerbitan SP2D (Surat Perintah Pembayaran dari Departemen atau Pemda) juga dipercepat dari 1 hari menjadi 1 jam.
Dalam suatu kunjungan ke KBRI Kuala Lumpur di awal tahun 2007, Presiden SBY pernah mengeluh karena proses pengurusan dokumentasi TKI sangat tidak efisien dan meminta segera diperbaiki. Ketika kembali mengunjungi KBRI 9 bulan kemudian, DCM Tatang Razak sudah bisa melaporkan bahwa waktu pengurusan dokumentasi TKI sudah bisa dikurangi dari 41 hari menjadi 1 jam!
Dan perubahan birokrasi ini tidak hanya datang dari atas, namun juga dari berbagai penjuru. Dewasa ini, banyak pemimpin-pemimpin daerah yang kreatif. Mereka ada yang berasal dari da-lam birokrasi dan ada pula yang datang dari luar pemerintah dan membawa ide-ide baru yang segar. Gubernur Fadel Muhammad, misalnya, dapat melipatgandakan gaji Pemerintah Daerah Gorontalo tanpa sepeserpun menaikkan APBD.
Atas petunjuk Presiden, pada tahun 2007, saya mengorganisir forum 'Innovative Leaders' di Hotel Borobudur dan menampilkan tokoh-tokoh daerah yang inovatif dan cemerlang. Dalam sesi itu, hadirin terpukau oleh pemimpin daerah yang tidak konvensional dan berani melakukan gebrakan-gebrakan.
Gubernur Gamawan Fauzi berbicara bagaimana ia membuat Pakta Integritas untuk pemerintahan bersih di Sumatera Barat, yang sayangnya belum disambut gayung oleh DPRD Sumbar.
Gubernur Barnabas Suebu menjelaskan bagaimana ia mengubah pola pembangunan dari top-down menjadi bottom-up, dimana setiap desa di Papua diberi dana sekian ratus juta yang harus diolah sendiri secara akuntabel.
Bupati I Gede Winasa menguraikan bagaimana ia dapat memberi pendidikan gratis, bahkan sampai tingkat Universitas dan juga kesehatan gratis bagi sel uruh warga Kabupaten Jembrana.
Dan Bupati Untung Wiyono memaparkan mengenai birokrasi one-stop service yang super cepat—dokumentasi kependudukan, pendaftaran usaha dan investasi—yang membuat Sragen salah satu kabupaten yang paling efisien di I ndonesia.
Di akhir sesi ini, ekonom senior Dr. Arifin Panigoro menghampiri saya dan menyatakan bahwa setelah melihat pemimpin-pemimpin seperti ini, ia menaruh harapan besar pada masa depan Indonesia.
Lee Kwan Yew pernah menyatakan bahwa salah satu resep kesuksesan Singapura adalah karena dari 4 juta penduduknya, hanya ada sekitar 2.000 orang di puncak yang mempunyai 'proven track records—not just ability, but in character, determination, commitment' dan dapat memimpin dan memajukan Singapura.
Bangsa Indonesia, dengan 220 juta penduduk, seharusnya dapat mempunyai jajaran pemimpin yang jauh lebih besar. Banyak orang yang mengharapkan demokrasi menghasilkan kesejahteraan yang lebih baik, namun demokrasi juga harus bisa menghasilkan pemimpin yang lebih baik.
Apabila Generasi 1945 membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, Generasi 1966 dari belenggu komunisme dan Generasi 1998 dari belenggu otoriter, generasi Indonesia abad ke-21 harus bisa melepaskan Indonesia dari segala belenggu yang selama ini mengkungkung energi produktif dan kreatif bangsa kita.
SBY telah menyatakan bahwa beliau ingin melihat Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2030. SBY juga melihat bahwa masa depan kita akan terjamin apabila ekonomi kita mampu mengandalkan dan memadukan sumber alam (resources economy) dan ilmu pengetahuan (knowledge economy).
Saya sungguh percaya bahwa kunci dari pekerjaan besar ini tidak hanya terletak pada kepemimpinan Presiden SBY, namun juga pada kemampuan bangsa kita untuk menumbuhkan barisan pemimpinpemimpin baru yang cemerlang di berbagai lembaga, di berbagai sektor, di berbagai daerah, dan di berbagai usia. Lebih dari lima kali SBY menyatakan dengan penuh keyakinan: "Indonesia memerlukan critical mass, yang harus menjadi pelopor, pendobrak dan penggerak utama untuk menjadi bangsa yang maju. Saya berharap 10–15 tahun ke depan, critical mass ini dapat diwujudkan."
SBY telah menebarkan virus ini sejak tahun 2004. Mudah-mudahan virus kepemimpinan ini bisa menjadi pandemik yang menyelamatkan bangsa Indonesia.

Sumber : http://www.presidensby.info/harusbisa/dobrak-birokrasi.html
Datun P, r komp timur 14:15/15032009

Sabtu, 14 Maret 2009

CHILDREN : TOUCH THE WORLD

Pada tanggal 25 Mei 2005, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membacakan pidato
di hadapan forum the Asia Pacific American Heritage Event di Gedung Putih, AS. Pidato tersebut mendapat sambutan hangat dan rasa haru dari para hadirin, tidak terkecuali Presiden AS , George W. Bush yang sempat menitikkan air matanya karena terharu. Dalam pidato tersebut Bapak SBY membacakan surat dari Maggie untuk Nada Lutfiyyah.

“Dear friend, Hi, my name is Maggie. I am sorry what happened in your country. I have heard some things about it. I hope your family and friends are okay. In church, I pray for you and your country. In school, we are raising money for your country. We have a loose change bucket and kids bring money in. Also, we are making tsunami bracelets to raise money too. I have made you one. I hope you like it. I will continue praying you and your country in church. Your friend, Maggie.”

Selanjutnya surat balasan Nada pun di bacakan oleh Presiden RI, (terjemahan dalam bahasa Inggris) :

“My good friend, Hello friend. My name is Nada Luthfiyyah. I was so happy and my heart was touched to receive the letter you sent us. My family—my dad, mom, older brother and younger brother have disappeared, and now I live with my cousin. I hope you are healthy and well where you are. I am so glad you are paying attention to us here. I hope to receive your bracelet in the coming days because I want to wear it on my arm to remind me that I have new friend. Your friend, Nada”.

Inilah kisah persahabatan Nada dan Maggie merupakan kisah yang dapat memberikan inspirasi tidak saja kepada anak-anak lain di seluruh dunia, namun juga bagi kita semua. Sebagaimana, sebagai penutup pidato beliau, Presiden RI menyatakan bahwa dunia akan menjadi lebih baik apabila kita semua memulai hubungan dan kontak sebagaimana yang dilakukan Nada dan Maggie. Yang membuat hubungan tersebut istimewa adalah kedua anak tersebut berasal dari latar belakang yang sangat berbeda. Maggie, seorang anak Amerika yang beragama Kristen, mengumpulkan sumbangan dan membuat gelang persahabatan untuk anak korban tsunami yang berada jauh di benua yang berbeda dan terpisahkan dua samudera. Nada, seorang anak Muslim yang kehilangan keluarganya dan berupaya untuk menghilangkan duka dan kembali menjadi anak-anak lain seperti Maggie.

Semoga tulisan ini bermanfaat untuk kita semua, mari kita bangun kesadaran global yang sebenarnya. Komitmen ini adalah berupa pekerjaan mulia dan bisa jadi ibadah “tertinggi” dari umat manusia. Galilah informasi di dunia maya yang berisi informasi tuntunan dan menjadi guide mulia bagi kita, bukan sebaliknya.



Datun, R Komputer Timur. 15032009/11.45

touch the world

berhari hari aku brows di banyak tulisan
memilih dan memilah kata atau paragraph
untuk diletakkan dalam soal praktik
anak2 rsbi
anak2 harapan bangsa
harapan dunia
harapan bumi
yang akan membawa perubahan
yang akan menjadi kader yang ditranformasi
dan mentranformasikan diri
dalam percarturan dunia
memahami makna bumi
walau berada di desa dunia
pati indonesia
kita memang harus tahu!
bahwa isu global
yang maha penting adalah
masalah lingkungan hidup
ia menjadi isu global nomor satu
melebihi masalah terorisme
harga minyak, flu burung bahkan
silent tsunami-pun
(krisis pangan)jadi kita
harus berburu moment penting
dalam percaturan internasional
dari sekian moment itu
adalah hadirnya sbi
sekolah berstandart internasional
benang merahnya adalah
anak2 kelak menjadi figur
yang siap dan mampu menjawab
dan menangkap peluang global
pelestarian global
dan dengan ide2 iovativnya
generasi ini menjadi jembatan penghubung
antara masa kini dan masa yang akan datang
luar biasa tanggung jawab mereka
mereka akan berevolusi menjadi manusia
yang sibuk "membuat mesin" penyerap karbon
sampai pada ambang toleransi bumi
"membuat pabrik" perlengkapan hidup
yang berbasis pada sumber-sumber terbaruhi
dan ujungnya adalah mewariskan pada penerusnya
bumi yang stabil, bumi yang sejuk,
generasi yang tercukupi
karena ahli MENGKONSERVASI
(diilhami oleh buku HARUS BISA! seni memimpin ala SBY - DR. Susilo Bambang Yodhoyono)