Rabu, 29 Oktober 2008

Blog Bukan Barang

Wicaksono
RAMADAN membuat saya dan Mat Bloger kerap menghabiskan waktu bersama menjelang senja untuk ngabuburit. Kalau bukan di warung dekat kantor, ya, di perpustakaan. Ada saja obrolan kami, dari urusan pekerjaan sampai remeh-temeh. Sesekali kami membahas isu-isu di ranah blog dan gosip-gosip seputar para blogger. Sore itu, saya bertanya kepada Mat Bloger, kenapa belakangan ini dia jarang memperbarui blog multiuser miliknya. Blog itu dibangun dan dihidupkan oleh Mat dan kawan-kawan secara gotong-royong (user generated content).
“Saya kira karena blog itu ternyata barang mewah bagi sebagian orang, Mas,” jawab Mat Bloger singkat.
“Maksudmu, harganya mahal?”
“Bukan, Mas. Maksud saya, blog itu sebuah kemewahan, semacam privilese, karena ternyata tak semua orang mendapat kesempatan yang sama untuk ngeblog,” ujar Mat Bloger.
“Lo, bukankah setiap orang memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk membuat blog, Mat? Selain itu, rasanya tak ada diskriminasi apa pun dalam perkara blog,” saya mencoba menyanggah.
“Wah, sampean tampaknya sudah terlalu lama di awang-awang, Mas, lupa menginjak bumi lagi.”
“Semprul! Jangan begitu dong, Mat.”
“Begini, Mas. Sampean boleh saja menganggap tak ada diskriminasi karena bebas ngeblog kapan saja. Fasilitas melimpah, kesempatan nggak kurang-kurang. Buat sampean, Internet ada di depan mata sepanjang waktu tanpa putus, meskipun kecepatannya seperti siput yang sedang puasa.”
“Buat sampean, ngeblog itu juga semudah mengedipkan mata. Bahan tulisan tersedia berkarung-karung. Foto ilustrasi bisa sampean bikin sendiri karena ada kamera digital. Kalau butuh riset, sampean tinggal menyalakan komputer atau notebook. Tapi pernahkah sampean membayangkan ada begitu banyak orang di luar sana yang sebenarnya mau ngeblog tapi tiada fasilitas dan kesempatan? Kalaupun ada, sangat sedikit.”
Saya tersenyum kecut. Mat Bloger melanjutkan kata-katanya.
“Saya punya kawan yang bekerja di sebuah perusahaan teknologi asing yang berkantor di sebuah gedung pencakar langit di jantung Jakarta. Dari luar sih, terlihat mentereng, tapi ternyata dia dan semua rekan kantornya tak diberi akses Internet dan e-mail. Untuk berhubungan dengan pihak luar, mereka hanya memakai telepon dan faksimile. Apa nggak ajaib tuh, Mas? Bagaimana mungkin dia ngeblog kalau aksesnya saja tak ada?”
“Pulang kerja atau di akhir pekan bisa kan, Mat? Warnet ada di mana-mana. Sekarang kita bahkan bisa ngeblog lewat handphone.”
“Yah, kalau sempat, Mas. Teman saya itu tinggal di luar Jakarta. Karena menggunakan kendaraan umum, biasanya dia sampai di rumah sekitar pukul 19.00. Setelah mandi dan makan malam, paling dia hanya sempat nonton televisi menjelang tidur karena besok dia harus berangkat kerja pagi-pagi. Di hari libur, dia lebih suka bercengkerama bersama anak dan istri. Mau ke warnet, duit pas-pasan. Ini soal prioritas saja sih, Mas.”
“Lantas kalaupun ada blogger yang dalam kesempitan waktunya tetap mampu merawat jurnal pribadi daring, saya nggak yakin apakah dia juga masih sempat ikut mengurusi beberapa blog yang sifatnya user generated content. Waktu mungkin ada, tapi ide belum tentu. Nggak mudah lo Mas, mengisi blog dengan aneka macam posting. Sampean jangan menyamakan semua orang seperti sampean sendiri, Mas.”
Jleb! Saya seperti mendapat upper cut di ulu hati ketika Mat Bloger mengakhiri kata-katanya. Benarkah blog memang bukan untuk semua orang?

saya ambil dari :http://blog.tempointeraktif.com/?p=272

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih